Pages

Thursday, October 13, 2011

[Koran-Digital] Marwan Ja'far: Merindukan Masyarakat Etis

Merindukan Masyarakat Etis
Marwan Ja'far, KETUA FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RI

Kita merindukan Indonesia yang makin bermartabat dan tidak ingin lagi memperpanjang daftar sisi gelap kehi- dupan bernegara setelah menyandang label negara ko- rupsi, pengekspor asap, rendah daya saing, rawan ben- cana, dan kini tumbuh lagi tantangan sebagai bangsa yang tuna-etika.

Saat ini ada keyakinan publik bahwa di Indonesia telah terjadi krisis moral. Meski belum pernah dila kukan penelitian tentang kebenar an klaim tersebut, secara common sense opini itu telah telanjur diyakini masyarakat sebagai suatu kebenaran. Bagi observasi rakyat biasa yang berpartisipasi dalam kehidupan biasa, sebenarnya tidak sukar mengumpulkan berita yang dapat mendukung common sense itu. Dalam keseharian, misalnya saja, kita kerap menjumpai bagaimana kesemrawutan jalanan akibat ketidakdisiplinan pengendara. Seorang penumpang di angkutan kota dengan seenaknya mengisap rokok, sedangkan di sampingnya ada ibu yang menggendong bayinya. Kita tatap pula peristiwa tragis yang baru saja terjadi, seorang karyawati diperkosa ramai-ramai di sebuah angkot. Kejam nian kehidupan di negeri ini, sehingga masyarakat menjadi panik dan paranoid.

Krisis moral sering dikategorikan sebagai krisis dalam kaitannya dengan kesalehan pribadi. Banyak pula pihak yang lebih prihatin terhadap krisis moral dalam kaitannya dengan kesalehan publik. Negeri ini memang sedang mengalami krisis etika publik.
Dari retorika ke kinerja Bangsa yang maju, beradab, dan bermartabat akan terwujud tatkala warga serta jajaran elite bangsa mampu menunjukkan kinerja yang berkualitas tinggi dalam dimensi ganda, progresif dan ekspresif. Dimensi progresif terkait dengan strata Indeks Pembangunan Manusia yang terukur melalui indikator pendidikan, kesehatan, dan pendapatan yang manifes melalui kinerja. Dimensi ekspresif terkait dengan kualitas penghayatan dan pengamalan nilai etika, logika, estetika, dan spiritualitas yang terwujud dalam sikap hidup dan perilaku nyata. Kontradiksi wacana pemerintahan yang jujur, bersih, dan berwibawa dengan fakta pelanggaran hukum dan etika merupakan paradoks good governance dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Krisis etika publik yang menjangkiti sebagian publik dan elite setidaknya terlihat dalam pengamalan tiga gaya hidup yang jauh dari sehat, yaitu pertama, mengedepankan hak dibanding kewajiban. Kedua, mengarusutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bangsa dan negara. Ketiga, mengunggulkan gaya hidup instan, menerabas, dan mumpung berkuasa. Kondisi ini diperparah oleh mandeknya fungsi hukum, melemahnya budaya malu, dan berkembangnya pribadi paradoks: terhormat tapi tidak bermartabat, elite tapi tidak elitis.

Lalu dari mana mulai berbenah? Usaha mengatasi krisis etika publik harus mengerahkan koreksi total atas karakter suprastruktur dan infrastruktur kehidupan publik. Pada tingkat suprastruktur, perlu diperkuat pemahaman pejabat publik mengenai deontologi, yakni prinsip-prinsip kewajiban dan tanggung jawab pejabat publik.

Pokok pikiran keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab) mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

Gapaian dari penerapan etika publik adalah “upaya hidup baik“,“membangun institusi-institusi berkeadilan“, dan “integritas publik“. Etika publik dapat membantu usaha aparatur negara membumikan falsafah dan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas publik yang nyata. Etika publik mempersoalkan tanggung jawab manusia sebagai manusia serta manusia sebagai warga negara terhadap negara, hukum yang berlaku, dan tatanan publik lainnya. Etika publik menjadi gambaran dalam memutuskan kebijakan publik. Mekanisme ideal ini jarang berlangsung di Indonesia. Dimensi etis kadang terkalahkan oleh pamrih finansial dan kepentingan pragmatis.

Kita pun mafhum bahwa sekian kebijakan publik di negeri ini justru diskriminatif, merugikan, dan mencederai moralitas publik. Semua itu akibat akumulasi kesalahan moral, hukum, dan politik. Kesalahan membuat rakyat menanggung derita, memikul beban berat tanpa perlindungan moral dan politis. Tindakan resistansi pun dilakukan demi revisi, perubahan, atau pembaruan kebijakan. Protes dan saran kadang membentur formalitas, pembakuan nalar politik oleh para pejabat. Etika pub lik jarang menjadi pertimbangan primer.

Kita pun mengalami realitas-realitas buruk ini, tapi susah mengelakkan diri. Etika publik seolah hanya terpahat dalam catatan atau lukisan indah, atau semata seruan di tepian deru politik pragmatis.

Dalam ranah moral, fenomena krisis etika sering dihubungkan dengan ketidakmatangan kepribadian dan gerak perubahan sosial. Gerak perubahan sosial terkait dengan kecenderungan perubahan struktur mekanik yang berbasis etika publik ke struktur organik berbasis etika profesi.

Krisis etika pada level paling parah terjadi manakala etika publik mengalami diskontinuitas dan etika profesi belum terkonstruksi. Masyarakat berpotensi tumbuh anomi, tanpa empati, cinta kasih, dan miskin nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Pemikiran yang mendalam dan tercerahkan akan selalu mewejangkan pentingnya makna hidup dengan tuntunan etika.

Mengapa? Sebab, etika yang dicerahkan dan digetarkan adalah dimensi terdalam dan teragung dari ranah keadaban bangsa

dan kemanusiaan.

Secara aplikatif, ada empat ranah etika yang bernilai sangat strategis, yaitu ranah hukum, politik, sosial, dan ekonomi. Dalam bidang hukum, sangat penting tegaknya etika kebenaran dan keadilan. Dalam bidang politik, agar makin berfokus pada apa yang dapat diberikan kepada negara, bukan hanya apa yang dapat diterima dari negara. Dalam bidang sosial, perlunya etika cinta kasih sehingga berpeluang menuai solidaritas yang berempati. Dalam bidang ekonomi, akan meniscayakan makin tegaknya keadilan, termasuk keadilan dalam penggajian dan pendapatan. Proses konstruktif ini sangat dirindukan dalam upaya pembangunan karakter bangsa dan nasionalisme, sebelum mosi tidak percaya makin menguat, menggema, dan demonstratif.

Konsistensi teks dan konteks dalam citacita penegakan good governance merupakan modal dasar terbangunnya kepercayaan publik. Pengingkaran dalam kinerja akan menuai protes dan memenaragadingkan konsep indah itu dalam wacana dan retorika.
Bermartabat dan etis Membangun masyarakat bermartabat dan etis memerlukan sinergi dan konvergensi utuh antara etika profesi dan etika publik. Etika profesi dapat dibangun melalui organisasi profesi, seperti kode etik dokter dan guru, sehingga dapat dikontrol secara struktural. Etika publik dapat dikonstruksi melalui pendidikan, kesenian, keagamaan, dan perilaku teladan oleh para elite bangsa terkait dengan kultur masyarakat Indonesia yang sangat kuat berorientasi vertikal.

Kita merindukan Indonesia yang makin bermartabat dan tidak ingin lagi memperpanjang daftar sisi gelap kehidupan bernegara setelah menyandang label negara korupsi, pengekspor asap, rendah daya saing, rawan bencana, dan kini tumbuh lagi tantangan sebagai bangsa yang tuna-etika.

Kita masih harus belajar menegakkan etika publik dan mengembangkan tradisi kebijakan publik yang bertanggung jawab dalam perjuangan membangun bangsa. Seiring dengan itu, kita harus tetap optimistis, bergairah, serta bangkit kembali untuk meretas jalan demi membangun masyarakat dan etis. Untuk itulah diperlukan kesadaran, kesungguhan, dan kemampuan bersama antara rakyat dan elite, laki dan perempuan, masyarakat di pedesaan dan masyarakat perkotaan tanpa sekat-sekat etnik, agama, serta golongan. Semuanya melangkah, berpacu, dan menyatu dalam sinaran Bhinneka Tunggal Ika.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/10/14/ArticleHtmls/Merindukan-Masyarakat-Etis-14102011011011.shtml?Mode=1

No comments: