Penderita Hepatitis Perlu Pemeriksaan Rutin
Anita Roddick, pendiri The Body Shop, ternyata menderita sirosis hati. Hal itu diungkapkan pada Februari 2007 saat ditunjuk sebagai duta The Hepatitis C Trust. Roddick terinfeksi lewat transfusi darah tahun 1971, tetapi baru terdiagnosis menderita hepatitis C tahun 2004.
Roddick hidup dengan virus hepatitis C dalam tubuhnya selama 30 tahun tanpa menyadari. Saat diketahui, infeksi virus itu telah berkembang menjadi sirosis.
Pengalaman itu mendorongnya bekerja sama dengan The Hepatitis C Trust—organisasi penderita hepatitis yang bertujuan meningkatkan kepedulian dan memberi edukasi kepada masyarakat mengenai hepatitis C.
Sedianya, pada Hari Peduli Hepatitis C Sedunia 1 Oktober 2007 ia bergabung untuk memberikan dukungan bagi kelompok pasien di Eropa bekerja sama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Kantor Regional Eropa. Namun, Tuhan berkehendak lain. Roddick meninggal dunia pada 10 September lalu akibat perdarahan otak.
Infeksi virus hepatitis B maupun C bisa berkembang menjadi sirosis atau pengerasan hati bahkan kanker hati. Masalahnya, sebagian besar infeksi hepatitis tidak menimbulkan gejala dan baru terasa 10-30 tahun kemudian saat infeksi sudah parah. Pada saat itu gejala timbul, antara lain berupa demam, mual, muntah, mudah lelah, nyeri di perut kanan atas, dan mata tampak kuning.
Untuk mencegah itu, pemeriksaan hati secara berkala menjadi penting. Pemeriksaan adanya virus hepatitis B bisa dilakukan lewat HbsAg, sedangkan untuk virus hepatitis C bisa dilakukan dengan anti-HCV.
Hal serupa terjadi pada Djati M Sudjardjati (70), mantan direktur umum sebuah perusahaan konsultan yang bergerak di bidang budaya perusahaan yang kini aktif menjadi salah satu pengurus Klub Hati Sehat. Ia didiagnosis hepatitis C pertengahan tahun 2004. Hal itu ditemukan secara tidak sengaja saat ia melakukan general check up. Nilai SGOT/SGPT (kadar enzim hati) Djati di atas normal sehingga ia disarankan untuk tes darah HCV-RNA. Hasilnya, ia diketahui menderita infeksi hepatitis C kronik (menahun).
"Saat itu saya masih aktif bekerja dan tidak merasakan gejala apa pun," tuturnya. Ia tidak tahu kapan dan lewat apa tertular HCV. Ia tidak pernah menerima transfusi darah, tindik, atau tato. Ia menduga terkena lewat jarum suntik yang tidak steril tahun 1970-an. Saat itu jarum suntik sekali pakai belum populer.
Karena jumlah virus sangat tinggi, dokter menyarankan untuk menjalani pengobatan dengan interferon pegilasi yang disuntikkan seminggu sekali serta minum tablet ribavirin tiga kali sehari. Setelah menjalani pengobatan selama satu setengah bulan, Djati berhenti karena mengalami efek samping yang berat berupa depresi, tidak ada nafsu makan, dan berat badan turun drastis. Ia juga sempat dirawat inap di rumah sakit sekitar sebulan karena asmanya kambuh.
Sekeluar dari rumah sakit, Djati mencari opini kedua ke Singapura. Hasil pemeriksaan menunjukkan HCV tidak terdeteksi lagi. Namun, enam bulan kemudian, saat check up di Indonesia, diketahui HCV meruyak lagi.
Selama Juni 2006-Mei 2007 Djati kembali menjalani pengobatan. Kali ini ia mampu bertahan atas dorongan dari istri dan kedua putrinya. Dari pemeriksaan tiap tiga bulan, sampai saat ini virus tidak terdeteksi lagi.
Masalah kesehatan dunia
Menurut guru besar hepatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga Ketua Kelompok Kerja Hepatitis Departemen Kesehatan, Ali Sulaiman, virus hepatitis B (HBV) menginfeksi sekitar 2 miliar orang di dunia. Dari jumlah itu, 350 juta orang menjadi pengidap hepatitis B kronik. Setiap tahun, lebih dari 1 juta orang meninggal dunia akibat hepatitis B beserta komplikasinya. Prevalensi di Indonesia, kata Ali, sekitar 5-10 persen jumlah penduduk atau sekitar 11 juta orang.
Adapun hepatitis C, menurut Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia Unggul Budihusodo, diderita sekitar 7 juta jiwa penduduk Indonesia. Di AS, ada sekitar 4 juta penderita. Adapun angka dunia adalah 170 juta jiwa. Setiap tahun ada 315.000 kasus baru serta kematian 312.000 orang di seluruh dunia.
"Dari jumlah yang terinfeksi, kurang dari 10 persen yang terdiagnosis dan diobati. Sebanyak 90 persen lain tidak menimbulkan gejala sehingga tidak terdiagnosis. Karena itu, pemeriksaan menjadi penting," kata Unggul.
Dari hasil penelitian yang dilakukan pelbagai pihak, prevalensi HCV kronik pada populasi umum di Jakarta (1995, 1996) adalah 3,9-4,6 persen. Angka nasional (1991) hepatitis kronik 16-77 persen, sirosis hati 33-78 persen, dan karsinoma (kanker) hati 29-69 persen. HCV genotipe 1 paling sering ditemukan di Indonesia (sekitar 60-65 persen) dan merupakan genotipe yang sulit diobati.
Virus hepatitis B maupun C menular lewat darah dan cairan tubuh manusia. Antara lain dari ibu yang menderita hepatitis kepada bayinya saat dalam kandungan atau dilahirkan, berhubungan seksual dengan penderita hepatitis tanpa pengaman serta menular melalui transfusi darah, suntikan, alat tato atau tindik yang tercemar virus.
Untuk mencegah penularan, hindari penggunaan bersama alat yang bisa terkontaminasi darah (pisau cukur, sikat gigi, jarum suntik, alat tato atau tindik), lakukan hubungan seks yang aman misalnya dengan kondom, lakukan imunisasi hepatitis B. Untuk hepatitis C sampai saat ini belum ada vaksinnya.
Menurut Ali, usia saat mendapatkan infeksi pertama menentukan progresivitas ke arah hepatitis B kronik. Sebanyak 90 persen bayi yang tertular HBV akan mengalami infeksi kronik. Pada mereka yang mendapat infeksi pada usia 1-5 tahun sekitar 20-50 persen menjadi kronik. Hanya lima persen yang mendapatkan infeksi di usia dewasa berkembang menjadi hepatitis kronik.
Pada hepatitis C, kata Unggul, sekitar 20 persen akan sembuh sendiri. Sebanyak 80 persen mengalami infeksi kronik yang dalam 15-20 tahun berkembang menjadi sirosis hati. Dari mereka itu 75 persen menderita sirosis ringan, 20 persen sirosis berat, dan sisanya berkembang menjadi kanker hati.
Untuk memberikan pelayanan dan edukasi bagi masyarakat, PPHI bersama Departemen Kesehatan dan mitra swasta menyediakan Hepatitis Helpline bebas pulsa 0-800-140-3063.
Hepatitis bisa diobati. Parameter yang mengisyaratkan penderita perlu menjalani pengobatan adalah jika kadar enzim hati (SGPT/ALT) meningkat, terjadi replikasi virus aktif, dan hasil biopsi menunjukkan ada peradangan hati. Nah, tunggu apalagi, segeralah melakukan tes untuk hepatitis sebelum infeksi berkembang menjadi fatal.
Sumber: Kompas
Penulis: Atika Walujani Moedjiono
No comments:
Post a Comment