Agus Maulana Supervisor pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
SESUNGGUHNYA ada begitu banyak idiom dan ungkapan yang bisa dituangkan
seorang guru ketika berinteraksi dengan para siswa. Hanya, terkadang
guru kurang jujur dalam mengekspresikan perasaannya terhadap siswa,
seolah seorang guru belum pernah menjadi siswa. Semestinya cara guru
bersikap dan berinteraksi dengan siswa di ruang kelas didominasi
ingatannya tentang masa-masa ketika dia menjadi siswa, semacam mirroring
of the past, sehingga bangunan hubungan tersebut terasa mengalir dan apa
adanya.
Harus disadari bahwa ketertarikan siswa pada sebuah pelajaran biasanya
dimulai dari ketertarikan siswa terhadap gurunya. Sering kali kita
mendengar istilah guru dengan label tertentu, guru yang killer,
diktator, jutek, enggak gaul, jaim, dan beragam ungkapan anak gaul saat
ini. Bila guru sudah mendapatkan label menakutkan semacam itu, bisa jadi
pelajaran yang diampunya juga memiliki label yang sama. Mata pelajaran
apa pun akan menjadi tidak menarik bila diampu oleh guru yang dianggap
kurang menarik, apalagi jika secara emosi siswa menangkapnya dalam
lingkup yang negatif.
Good communicator Untuk menjadi guru yang baik, tidaklah cukup bila
hanya memiliki pengetahuan tentang berbagai materi yang diajarkan.
Lebih dari itu, ia membutuhkan kemampuan komunikasi yang baik (good
communicator).
Dalam berkomunikasi ia tidak harus menjadi orang yang aktif berbicara.
Berpenampilan menarik, menggunakan bahasa tubuh yang luwes, sering dan
bisa mendengar pendapat siswa, tersenyum, tertawa, serta bercanda juga
bagian dari komunikasi yang baik. Karena itu, guru tidak semestinya
menjadi penguasa kelas yang selalu mendominasi, apalagi secara fisik,
dalam proses belajar-mengajar. Sebaliknya, guru harus menjadi seorang
sahabat siswa yang senang berbagi ilmu dan pengalaman.
Frasa `mengajar dengan hati' sangat tepat dijadikan ilustrasi dalam
kegiatan belajar-mengajar. Dalam kegiatan belajarmengajar, hati dan
perasaan sangat dominan karena proses tersebut sesungguhnya sarat dengan
emosi. Bahkan John Dewey (1933: 189) memberikan ilustrasi bahwa
"...There is no education when ideas and knowledge are not translated
into emotion, interest, and volition." Jelas sekali bahwa emosi yang
dimaksud ialah emosi positif yang melingkupi empati, perhatian,
perasaan, dan cinta. Dengan demikian, guru bertanggung jawab penuh atas
apa yang ia ajarkan kepada siswanya.
Secara rasional dan emosional pun guru bertanggung jawab atas kondisi
emosional dan kognisi siswanya yang belum sepenuhnya memahami materi
yang akan diajarkan.
Memberikan perhatian secara personal kepada siswa sebagaimana seorang
sahabat mutlak dan perlu dilakukan seorang guru. Kegiatan itu bisa saja
disisipkan di awal pembelajaran dengan cara menyapa siswa, memberikan
pujian, menanyakan kondisi kesehatan siswa, dan hal-hal personal lainnya
sehingga siswa merasa mendapatkan perhatian. Bila suasana dirasa
kondusif, guru bisa mulai mengajarkan materi yang akan disampaikan.
Dalam proses KBM, guru tidak mesti menjelaskan seluruh materi dan
mengesampingkan keterlibatan siswa. Guru cukup mengurai kerangka materi
yang akan dibahas, kemudian memberikan porsi yang cukup kepada siswa
untuk ikut terlibat dalam pembahasan materi.
Pola hubungan guru-siswa sebagai sahabat sangat membantu guru dalam
memberikan berbagai penugasan yang berkaitan dengan kegiatan
belajar-mengajar. Tugas tidak akan dimaknai sebagi beban, tetapi menjadi
sebuah kegiatan yang menyenangkan. Siswa akan memiliki motivasi yang
tinggi dalam mengerjakan berbagai tugas yang diberikan berbagai tugas
bila ia memahami bahwa tugas itu dilakukan untuk meningkatkan kemampuannya.
Untuk mencapai tahap itu, diskusikan sedari awal tugas apa pun yang akan
siswa kerjakan, kewajiban-kewajiban apa saja yang harus ia penuhi, dan
hakhak apa saja yang akan ia dapatkan. Membuat kesepakatan atau kontrak
belajar menjadi penting sehingga di antara kedua pihak (gurusiswa) ada
komitm e n .
Tu g a s yang akan d i kerjak a n b u k a n merupakan kehendak guru,
melainkan muncul dari kesepakatan dan selanjutnya menjadi kebutuhan
siswa. Dalam kontrak belajar juga ada bentuk-bentuk reward dan
punishment yang disepakati bersama.
Dengan demikian, siswa akan merasa dihargai karena telah diberi porsi
yang cukup dalam menentukan reward dan punishment yang akan ia terima.
Pola hubungan semacam ini harus terus dibangun, tidak hanya di dalam
kelas tetapi juga di luar kelas. Bahkan hubungan semacam ini akan jauh
lebih efektif ketika dilakukan di luar kelas. Mendengarkan curhat siswa,
berolahraga bersama, makan bersama, bermain musik, dan bernyanyi
bersama, atau bahkan jalan-jalan bersa ma menjadi media untuk ma menjadi
media untuk membangun keakrab an guru-siswa. Bila kegiatan-kegiatan itu
terus dilakukan, kedua pihak akan memiliki kesepaha man dan pengertian.
Siswa akan memahami hal-hal yang disukai maupun tidak disu kai gurunya,
kara kternya, dan kebi asaannya, begitu pun sebaliknya.
Selanjutnya, satu sama lain akan mengenal secara personal.
Pada posisi itu, guru mesti mampu menurunkan egonya supaya bisa sejajar
de ngan siswa. Bila gan siswa. Bila guru masih memosisikan diri sebagai
orang yang lebih tinggi daripada siswa, pola hubungan guru-siswa sebagai
sahabat tidak akan pernah ter jadi. Pada dasarnya pola hu bungan semacam
ini butuh kesetaraan. Siswa harus diposisikan s sejajar dengan gurunya.
n Meski sejajar, guru tidak mesti takut akan kehilangan kewibawaan di
hadapan siswanya. Justru dalam pola hubungan itu guru mendapatkan
penghormatan yang tulus dari siswanya. Guru akan dikenang sebagai sosok
sahabat sejati siswanya. Selain itu, mata pelajaran yang guru ampu bisa
menjadi favorit siswa.
Sebagai sahabat, guru juga harus menjadi pendengar yang baik bagi
siswanya. Telinga seorang sahabat selalu bersedia untuk mendengarkan
curhat dari sahabatnya. Bila diperlukan, berikan respons yang baik dan
positif atas curhat yang diutarakan siswa. Sering kali guru memosisikan
diri sebagai seorang penasihat yang selalu memberikan ceramah yang
panjang atas persoalan yang diceritakan siswanya. Padahal siswa
sebetulnya hanya ingin pendapat dan curhatnya didengar.
Untuk meningkatkan keakraban dengan siswa, tidak ada salahnya guru
melibatkan diri dengan beragam aktivitas yang dilakukan siswa, ikut
menyukai hobi siswanya, ikut menggandrungi dan menyenangi lagu serta
artis yang menjadi favoritnya, ikut membaca novel yang sedang dikagumi
siswanya, juga mengetahui jalan cerita film atau drama seri yang menjadi
tren di kalangan mereka, sehingga hal-hal tadi bisa dijadikan sebagai
tema obrolan yang menarik dan bisa dibahas di sela-sela aktivitas rutin.
Pembiasaan semacam ini lama-kelamaan akan membentuk pola hubungan yang
secara emosional justru meningkatkan karakter siswa, terutama dalam
menumbuhkan rasa untuk saling menghargai (respect), saling mencintai
(love), dan saling melindungi (protection). Lingkaran psikologis itu
akan mempermudah, baik guru maupun siswa, untuk saling percaya satu
dengan lainnya.
Guru, terutama, akan mengetahui kekurangan dan kelebihan setiap siswa
sehingga ia mampu memberikan masukan kepada siswa dan orangtua siswa,
mengenai talenta yang siswa miliki dan bidang karier yang akan digeluti.
Itu juga bisa membantu siswa dalam proses pemilihan jurusan (untuk SMA)
atau fakultas yang akan dituju setelah lulus sekolah.
Sebagai sahabat sejati, guru mesti memberikan pujian atau bahkan teguran
secara jujur, tulus, dan rasional. Bila siswa melakukan kesalahan,
berikan teguran yang halus dan tidak menghakimi. Guru juga jangan
memberikan ekspresi kemarahan secara berlebihan, yang membuat siswa
merasa tertekan, tidak nyaman, dan terintimidasi. Begitu pun sebaliknya,
bila siswa berhasil dalam bidang tertentu, sekecil apa pun bentuk
keberhasilannya, berikan pujian yang memotivasi sehingga ia merasa
dihargai atas upaya yang dilakukannya.
Bila pola hubungan itu terjalin, satu sama lain akan saling merindukan.
Guru rindu untuk terus mengajar siswanya, dan sebaliknya siswa akan
rindu untuk terus belajar pada gurunya. Berdasarkan pengalaman penulis,
ketika seorang guru terlambat mengajar, siswa bahkan tak sungkan untuk
segera datang menjemput. Di samping itu, kehadiran guru di kelas akan
terus dinanti oleh setiap siswa, sebagaimana ia menantikan kehadiran
pacar di malam minggu. Pendek kata, tak ada ruginya untuk menjadi
sahabat siswa. Malah sebaliknya, ada beribu keuntungan yang akan
diperoleh setiap guru jika ia melakukan komunikasi semacam itu, terutama
merasa selalu awet muda. Percayalah.
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
No comments:
Post a Comment