Pages

Thursday, October 13, 2011

[Koran-Digital] Bambang Satriya: Pascaputusan Komite Etik Dekonstruksi Imunitas Yuridis

Pascaputusan Komite Etik Dekonstruksi Imunitas Yuridis
Bambang Satriya Guru Besar Stikma, dosen luar biasa Universitas Ma Chung
dan Unmer Malang

KOMITE Etik KPK ternyata tidak bulat memutuskan bahwa seluruh elemen KPK
benar-benar mutlak bersih. Ada di antara mereka yang diduga berpenyakit
meski oleh komite dikategorikan ringan. Putusan yang dijatuhkan komite
merupakan 'produk moral', bukan produk yuridis, sehingga langkah yuridis
oleh kepolisian atau kejaksaan untuk menindaklanjuti,tetap wajib
dilakukan. Kalau itu diserahkan semata kepada KPK, slogan 'jeruk minum
jeruk' boleh jadi menodai KPK.

Dalam prinsip egalitarianisme yang digariskan konstitusi sudah
disebutkan, siapa pun yang ditengarai, diindikasikan, atau ada petunjuk
terlibat dalam perkara korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan, meski yang
diduga itu merupakan elemen lembaga penanggulangan korupsi semacam KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi), secara hukum hal itu tetap wajib
dipertanggungjawabkan, atau perlu investigasi lebih lanjut.

KPK bukan lembaga yang punya kartu imunitas. Sebaliknya, secara de jure
mereka lembaga yang layak dikontrol dan rentan, tidak boleh dibiarkan
punya hak privilese, atau layak mendapat praduga sebagai institusi
paling bersih yang tidak mungkin ternoda atau tergoda oleh limbah
korupsi. Mengapa demikian? Sejarah telah mengajarkan, sekurang-kurangnya
sejak zaman Orde Baru lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah, misalnya
yang mendapatkan amanat untuk mengawasi kinerja birokrasi dan aparat pe

negak hukum, ternyata tidak cukup tangguh dalam mengawasi perilaku
birokrat dan aparat penegak hukum yang bermental kleptokrat.

Kalau diposisikan secara riil, teroris sejati di negeri ini adalah para
koruptor karena mereka penjahat kerah putih, atau istilah Edwind
Sutherland pelaku white collar crime, yang punya kemampuan istimewa di
bidang intelektual, pengolahan kekuasaan atau manajemen birokrasi,
jaringan yang memadai, dan target-target yang jauh hari sudah
dikalkulasikan secara sistemis (Tanuwijaya, 2009).

Apa yang diperbuat koruptor bukan karena alasan kesulitan ekonomi,
melainkan lebih dominan disebabkan keserakahan dalam mengumpulkan
pundipundi kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan dampaknya
pada rakyat. Koruptor tidak mau tahu bahwa perbuatan itu mengakibatkan
rakyat hidup sekarat, ekonomi bangsa karut-marut, daya beli rakyat
menurun, merangsang booming kejahatan lain seperti bersemainya—meminjam
kata Jeffri Winters—'utang najis' atau utang jahat (criminal debt), dan
jatuhnya citra bangsa di mata negara-negara lain.

Keistimewaan koruptor itulah yang membuat kekuatan lain yang berdiri di
garis kebenaran dan keadilan serta pembelaan hak-hak rakyat sulit
memberantasnya. Di satu sisi keinginan moral, politik, dan hukum untuk
berjihad melawan koruptor begitu mencuat. Di sisi lain koruptor pun
menyiapkan berbagai jurus yang bisa diandalkan untuk berkelit dan memenangi

pertarungan.

Gejalanya belakangan ini, syahwat pemerintah untuk memerangi korupsi
harus berhadapan dengan kepiawaian koruptor. Bahkan kepiawaian itu
terasa lebih kuat atau `digdaya' daripada kemampuan aparat.

Ketika institusi peradilan itu kurang bergairah atau `lemah syahwat'
dalam menangani perkara korupsi, gugatan yang patut diajukan ialah ke
mana institusi-institusi yang selama ini dibentuk atau mende klarasikan
diri mereka sebagai pengawas korupsi? Masihkah mereka ini menjalankan
amanat sebagai lembaga pengawas korupsi, ataukah sebagai lembaga yang
sedang atau telah terdistor oleh korups sehingga di dalam diri mereka
juga melekat penyakit `lemah mental'? Kalau merasionalkan hal itu dari
sudut kegagalan aparat penegak hukum dalam berjihad melawan korupsi,
indikasinya korupsi, indikasi menunjukkan bahwa lembaga pengawas selama
ini masih belum cukup an kapabel dalam gi mengkreasikan peran yudisial
mereka yang berbasiskan aspek yuridis, egalitarianisme, dan
akuntabilitas. Aparat penegak hukum tentu akan terkondisikan untuk
berkompetisi dalam menjaring koruptor secara transparan dan egaliter
jika institusi pengawas mereka mampu menjalankan fungsi kontrol secara
penuh.

Pemerintah (negara) yang rela memboroskan dana demi membentuk berbagai
lembaga peng

awas, seperti komisi pengawas kejaksaan, komisi pengawas kepolisian, dan
komisi pengawas kehakiman, merupakan bentuk `sindiran' atau apresiasi
kekecewaan, distorsi kredibilitas terhadap kinerja aparat penegak hukum
dan lembagalembaga yang mendapatkan mandat sebagai pengawas dan
pemberantas korupsi.

SBY barangkali sudah mengevaluasi dan menyimpulkan bahwa lembaga
pengawas yang selama ini diberi keper cayaan menangani ko cayaan
menangani korupsi belum maksimal `jemput bola' dan hanya menunggu
datangnya laporan kasus korupsi.

Dengan dibentuknya beberapa lembaga se perti Satgas Antima fia, SBY
membuat semacam lembaga pengawas tanding an yang ditarget kan bisa
memper cepat laju pena nganan korupsi di negeri ini.

Memang dalam perjalanan KPK saja, mi salnya, masih ada kesan kuat bahwa
lembaga ini belum mak simal atau masih kerap dihadapkan pada stigma
tebang pi lih dalam menangani sejumlah kasus yang diduga berdasarkan
bukti permulaan layak dikategorikan korupsi. Tidak sedikit kasus korupsi
yang bertipe 'korupsi kelas macan' yang tidak atau belum disentuh KPK.
Semestinya KPK tidak perlu membedabedakan besar kecilnya kasus atau
mengandung muatan politik tidak kasus tersebut karena mereka sudah
disumpah untuk menjalankan profesi ini dengan prinsip jujur, adil, dan
egaliter.

Dalam kasus tersebut, kita layak memperhatikan apa yang diingatkan
Albert Enstein, "Kejahatan terbesar bukanlah dilakukan oleh pelakunya,
melainkan oleh kita yang mendiamkan kejahatan itu terjadi." Artinya,
meskipun SBY telah membentuk lembaga baru untuk mengawasi penanganan
kasus korupsi, kita juga wajib memberdayakan kontrol, selalu membuka
mata, dan memasang telinga terhadap kinerja lembaga baru ini dan kinerja
lembagalembaga lama yang mengemban amanat menangani dan mengawasi
jalannya sistem peradilan pidana kasus korupsi.

Kalau peran itu tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, kitalah yang
layak menanggung dosa karena kita sama artinya dengan membuka kran
bersemainya kasus korupsi di negeri ini. Dalam kasus korupsi di
Indonesia ini, kita layak menjatuhkan sikap praduga lebih dulu terhadap
setiap bentuk politik penanggulangan korupsi yang dilakukan pemerintah
dan lembaga sekocinya. Sebab, apa yang pemerintah lakukan itu layaknya
dokter yang sedang sakit yang berusaha menyem

buhkan penyakitnya sendiri.

Padahal kalau penyakitnya itu di dalam dan sedang menghegemoni dirinya,
itu jelas berat sekali.

Selain itu, hingga sekarang berbagai kasus korupsi besar masih belum
jelas atau belum transparan politik penanggulangannya. Masyarakat hanya
diseret untuk menyikapi kasus-kasus baru yang datang bergelombang dan
usia aktualitasnya seumur jagung. Mereka terkondisikan agar lupa bahwa
negeri ini sebenarnya berpenyakit sangat kronis dan laten di lini
penyalahalamatan atau penyalahgunaan uang negara.

Dalam tataran itu, jelas penanganan korupsi masih di kisaran
'memanaskan' target tertentu, sedangkan yang lainnya dibiarkan lenyap
ditelan sejarah mencuatnya peristiwaperistiwa besar di Tanah Air.

Penanganan demikian ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip
konstitusi equality before the law. Hukum masih digerakkan sebagai mesin
yang memilih dan bukan kekuatan supremasi yang berbasiskan
egalitarianisme. Hal itu tentu saja menjadi uji pembuktian yang harus
ditunjukkan KPK dan institusi penegak hukum lainnya.

Yang ditunggu oleh publik nantinya bukanlah kompromi hasil investigasi
yang dilakukan setiap elemen penegak hukum, melainkan sikap independensi
dan kejujuran mereka. Jika memang ada anggota KPK yang terindikasi
bersalah atau melakukan tindak pidana, rule of the game wajib dijalankan
secara terbuka dan objektif.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/10/14/ArticleHtmls/Pascaputusan-Komite-Etik-Dekonstruksi-Imunitas-Yuridis-14102011020017.shtml?Mode=1


--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

No comments: