Pages

Sunday, October 16, 2011

[Koran-Digital] CALAK EDU Mendengar

CALAK EDU Mendengar
Ahmad Baedowi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta

Rasa bahasa, dalam banyak hal, akan lebih aktual dan berguna jika dilakukan dengan benar melalui sebuah keterampilan mendengar."

MENDENGAR merupakan salah satu kunci pokok sebuah proses komunikasi efektif (effective communication). Keterampilan mendengar tentu sangat dipengaruhi oleh tingkat kematangan dan kedewasaan seseorang, terutama juga dari seberapa sering orang tersebut berinteraksi dengan orang lain.

Dalam konteks pendidikan, tentulah seorang guru yang paling banyak berinteraksi dengan siswa, dan karenanya, sudah seharusnyalah guru memiliki kemampuan mendengar lebih baik daripada siapa pun.

Mengapa mendengar? Dalam sebuah proses interaksi seperti belajar-mengajar, mendengar sering kali dianggap bukan sebagai bagian dari keterampilan berkomunikasi. Padahal, sejatinya ‘mendengarkan’ keluhan siswa merupakan salah satu pertanda betapa dekatnya hubungan emosional seorang guru dan siswa. Tanpa disengaja, seorang guru yang sering mendengar keluhan siswanya ketimbang ingin ucapannya didengar pasti akan mendapat tempat yang istimewa di hati siswa.

Mendengar dan memberikan

feedback merupakan cara komunikasi paling efektif dan harus menjadi pilihan pertama para guru jika ingin dicintai siswa.

Pendengar yang baik laksana bintang di langit, a star, karena prinsipnya memang diambil dari imajinasi soal sebuah bintang (a star). Menjadi seorang pendengar yang baik, bagi seorang guru, adalah kebutuhan utama agar selalu hadir (attend) di hati siswanya.

Selain itu, salah satu ciri utama dari seorang pende ngar yang baik ialah keinginannya untuk terus belajar (study).

Sebab, sebagai guru yang patut ditiru siswanya, ia pasti akan mempergunakan kesempatan mendengarkan keluhan siswa sambil mencatat (take a note) dengan cermat setiap masalah yang diungkapkan siswa agar pada waktu yang bersamaan, siswa juga dapat melihat apa yang dikerjakan gurunya.

Pendengar yang baik juga harus memiliki komitmen untuk mencoba mengaplikasikan (apply) setiap kemungkinan

yang dirasa akan membantu memecahkan setiap masalah kesiswaan secara berkesinambungan. Guru, dalam hal ini, dituntut untuk memiliki kreativitas dalam menangani isu-isu kesiswaan yang tidak jarang penuh dengan persoalan emosi dan kejiwaan. Karena itu, seyogianya seorang guru juga selalu mengajak siswanya untuk melihat kembali (review) hal-hal yang berkaitan dengan persoalan siswa secara sistematis. Semua pengalaman itu menjadikan proses pembelajaran di kelas akan terbangun lebih baik.

Menimbulkan tindakan nyata merupakan indikator efektivitas komunikasi yang paling penting. Untuk menimbulkan tindakan siswa ke arah yang lebih baik, keterampilan mendengar para guru diharapkan dapat menimbulkan sekaligus menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik. Tindakan adalah hasil kumulatif seluruh

proses komunikasi. Hal itu tidak hanya memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme psikologis yang terlibat dalam proses komunikasi, tetapi juga faktor-faktor yang memengaruhi perilaku para siswa dalam berkomunikasi.

Dalam dunia pendidikan yang sudah berkembang sedemikian pesat seperti sekarang ini, otoritas guru yang didasarkan pada teori behaviorism harus segera diubah ke pendekatan functional-learning, sebuah pendekatan yang lebih menghargai kapasitas emosional dan akademis guru dan siswa secara bersamaan. Teori fungsional (functioning theory) berkembang dalam 20 tahun terakhir.

Model ini mensyaratkan otoritas guru bergantung pada siapa yang mengajar. Dalam bahasa Jerome Bruner, model teori tersebut seperti fungsi seorang ibu yang berinteraksi dengan anaknya melalui akuisisi bahasa. (Bruner, Learning the Mother Tongue, Human Nature:

1978). Artinya, teori tersebut melihat bahasa sebagai hasil dari interaksi seorang guru ketika menggunakan bahasa sesuai dengan rasa bahasa yang berkembang dalam diri seorang anak. Rasa bahasa, dalam banyak hal, akan lebih aktual dan berguna jika dilakukan dengan benar melalui sebuah keterampilan mendengar.

Jika keterampilan mendengar digunakan secara fungsional, dapat dipastikan seorang guru di dalam kelas tidak akan sertamerta memberikan penugasan hanya dalam bentuk penulisan semata. Penulisan tersebut juga mempunyai peran fungsional terhadap daya nalar dan daya tangkap seorang anak, berdasarkan struktur emosinya.

Karena itu, dalam melakukan penilaian, seorang guru harus mengandalkan otoritas pikir dan rasa yang dimilikinya sekaligus. Seorang guru dalam teori ini tak bisa sekehendak hati dan membabi buta hanya mengikuti aturan penilaian sepihak, tanpa mendiagnosis respons yang

mencerminkan pengalaman siswa secara emosional ketika mengerjakan suatu tugas.

Oleh karena itu, jika keterampilan mendengar guru-guru dirangkai dalam satu model fungsional dalam pola pembelajaran sebagai suatu pendekatan yang digunakan di dalam kelas, guru dapat menunjukkan otoritasnya sebagai fasilitator sekaligus mediator pembelajaran yang baik dan bermutu.

Linda Darling-Hammond dalam Powerful Learning: What We Know About Teaching for Understanding (2008) dengan jelas mengkritik guru dan sekolah yang memiliki orientasi pembelajaran berbasis tes/ujian (learning for exams), tanpa melihat perkembangan emosi anak.

Jika sistem pendidikan kita ingin menemukan sebanyak mungkin anak berbakat dan berkemampuan lebih dan beragam, sudah saatnya orientasi pembelajaran diubah menjadi learning for understanding, dengan keterampilan mendengar sebagai salah satu kata kuncinya. Proses belajar semacam itu, menurut Linda DarlingHammond, dapat mengidentifi kasi keinginan siswa secara lebih luas dan mendalam terhadap suatu hal atau gagasan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/10/17/ArticleHtmls/CALAK-EDU-Mendengar-17102011026013.shtml?Mode=1


No comments: