Jatna Pupriatna. Jika konsistensi dan kualitas riset terbukti, mereka
tak sulit menggaet dana. Saya bukan hero, tetapi mereka tak mampu
memanfaatkan kemampuan mereka. Yang kita tidak punya yaitu kemampuan
berkompetisi dan menyediakan laboratorium."
"SAYA sering me motret binatang liar dan tumbuh tumbuhan langka di
hutan. Jadi, saya malah kebingungan saat diminta fotografer untuk
berpose. Enak juga, sih, menjadi fotografer," sesaat pakar biologi itu
bercanda seraya bercerita mengenai hobi terpendamnya itu.
Bagi Jatna, pekerjaan memotret sama menyenangkan dengan meneliti.
Apalagi, hasil pemotretan dapat menjadi bukti autentik tentang temuan
terbaru.
"Saya punya dokumentasi primata selama dua tahun penelitian di Pulau
Sulawesi. Saya memotret sendiri sehingga terasa menyenangkan. Semuanya
masih saya simpan," ungkap Jatna saat ditemui Media Indonesia di Kampus
Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, pekan lalu.
Ta k d a p a t d i m u n g k i r i , keanekaragaman fauna di Tanah Air
telah membawa Jatna untuk menembus berbagai hutan. Mulai Asia, Afrika,
hingga Amerika. Ia bukan bertamasya, melainkan mencari berbagai bahan
sebagai data penelitiannya. Ketua Pusat Studi Perubahan Iklim
Universitas Indonesia itu telah melakukan berbagai penelitian seperti
jenis-jenis primata di Pulau Sulawesi dan orang utan di Pulau
Kalimantan. Begitu pula, berbagai kegiatan seperti konservasi,
restorasi, hingga perubahan iklim juga menjadi kajian utama Jatna dalam
rutinitas sehari-harinya.
"Sekarang saya sedang melakukan proyek penelitian tentang keanekaragaman
hayati di Belitung, Mentawai, dan Papua. Ini sangat menyenangkan," ujar
ayah tiga anak, itu.
Selain sibuk meneliti dan mengajar, Jatna mengimbangi hidup dengan
bermain tenis.
Saat mengutarakan olahraga favoritnya itu, ia semakin bersemangat.
Jatna memiliki kepribadian tegas, teliti, dan telaten. Saat Jatna remaja
ia sudah terbiasa keluar masuk hutan untuk berburu. "Ayah saya seorang
tentara jadi (saya) sudah terbiasa diajak menerobos hutan," tuturnya santai.
Keinginan mencintai hewan membuatnya menggeluti bidang biologi. Saat
itu, Jatna remaja juga memiliki cita-cita menjadi dokter hewan, tetapi
tak kesampaian. "Sejak kecil saya hanya ada dua pilihan, dokter hewan
atau biologi.
Dua-duanya menyenangkan.
Namun, saya harus menentukan satu bidang saja," lanjut Jatna.
Pria kelahiran Banjar, Jawa Barat, 7 September 1951 itu mengatakan
sebagai seorang peneliti, ia juga menyenangi dunia ular berbisa.
Apalagi, ada ratusan jenis ular di Indonesia.
Kecintaan terhadap ular membuat Jatna membukukan salah satu buku yang
mengupas ular. Tak mengherankan jika ia sering dijuluki sebagai `Raja
Ular' oleh rekan-rekan sesama peneliti.
"Julukan itu sering dikatakan teman-teman sejak saya melakukan
penelitian ular.
Saya bahkan pernah digigit ular dan primata," ucapnya. Ia pun
menunjukkan bekas gigitan di tangannya.
Dana asing Di tengah persoalan bangsa, Jatna mengaku negara masih minim
menganggarkan dana penelitian bagi peneliti. Tak mengherankan jika
minimnya dana membuat segelintir peneliti mendapatkan kesulitan.
Untuk itu, Jatna berharap para peneliti, khususnya yang muda, harus
meningkatkan kualitas untuk bisa berkompetensi. Terutama inovatif dan
kreatif.
"Pengalaman saya selama 15 tahun (menunjukkan) mendapatkan dana itu
tidak sulit.
Sekarang ini sudah banyak pihak asing yang mau membantu. Saya melihat
peneliti muda masih kurang kompetitif sehingga tak mampu bersaing,"
tuturnya. Kini, salah satu donatur asing telah menyediakan dana sekitar
US$25 juta kepada Jatna untuk membiayai sebuah penelitiannya di Sumatra.
"Saya akui dana asing lebih mudah didapat ketimbang dana dalam negeri.
Bila seorang peneliti sudah memiliki reputasi yang bagus, orang akan
mencari Anda," tegas Jatna.
Sebagai anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), ia merasa
sangat terhormat karena hanya ada 60 peneliti yang masuk lembaga
tersebut. "Jadi, perlunya kemampuan berbahasa Inggris yang bagus dan
penggunaan metode yang tepat untuk penelitian. Saya tidak biasa
meminta," tukasnya.
Bagaimana dengan banyaknya peneliti yang memutuskan untuk menetap di
luar negeri?
"Saya bukan hero, tetapi mereka tak mampu memanfaatkan kemampuan mereka.
Yang kita tidak punya yaitu kemampuan berkompetisi dan menyediakan
laboratorium."
Sebagai pengabdian di bidang biologi, ia telah meraih berbagai
penghargaan seperti dari Belanda, Orde Van de Gouden Ark (1999).
Penghargaan terakhir yang diraih ialah Achmad Bakri Award, Agustus lalu.
Penggemar gado-gado, bak so, dan lalap itu mengaku waktu untuk melakukan
penelitian masih kurang. Apalagi, ia harus membagi waktu dengan mengajar
sebagai dosen dan menjadi pembicara di berbagai simposium nasional dan
internasional.
"Waktu 12 jam tidak cukup bagi seorang peneliti. Minimal 17 jam per hari
untuk bisa berkompetisi dengan peneliti asing," ucapnya.
Kendati waktu terbagi dengan urusan pekerjaan, ia mengaku tetap
menyisihkan waktu untuk ketiga anaknya. "Saya juga memberikan pilihan
kepada anak-anak. Anak pertama, misalnya, memilih untuk mengambil bidang
komputer. Saya tak pernah memaksakan anak-anak untuk menjadi seorang
biologist," pungkasnya. (M-2)
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
No comments:
Post a Comment