Pages

Sunday, October 16, 2011

[Koran-Digital] M SOBARY: Jamu

Jamu PDF Print
Monday, 17 October 2011
Kita tahu "jamu"itu kata benda, dan "jejamu", minum jamu, kata
kerja.Kata benda dan kata kerja itu merujuk pada satu makna: kesehatan.


Dalam konteks lain: penyembuhan. Kesehatan dan penyembuhan berhubungan
langsung dengan survival. Ketika potret kesehatan masyarakat buruk,
fasilitas obat-obatan dan pengobatan umum terbatas, sakit dan kematian
menjadi ancaman nyata; dan paling menakutkan, apalagi bila kehidupan
ekonomi masyarakat bersangkutan juga parah. Dengan begitu, survival
dalam posisi di ujung tanduk.

Agar manusia survive dalam tata kehidupan yang sulit tadi, muncul budi
daya,usaha, langkah, atau upaya, karena manusia tak boleh menyerah pada
kesulitan secara fatalistik begitu saja.Dari akar kata budi daya,
sekaligus dari proses panjang yang ditempuh serta hasilnya,maka
terbentuk makna kebudayaan. Maka jelas, jamu itu salah satu wujud hasil
pemikiran, kreasi, dan penciptaan dalam suatu masyarakat. Biasanya,
terutama masyarakat tradisional, yang selalu dihadapkan pada segenap
keterbatasan fasilitas untuk sehat,dan untuk survive tadi.

Dilihat dari satu aspek yang lebih khusus,yaitu ketika jamu diterima
makin luas dan makin luas di dalam masyarakat, dan kebiasaan orang minum
jamu, atau "jejamu" makin melembaga, maka terbentuklah tradisi pembuatan
jamu, pada satu sisi dan tradisi minum jamu di sisi lain.Sesudah jamu
diterima pasar, dan dikonsumsi, maka pelan-pelan terbentuklah tradisi.
Bila hal ini makin diterima di masyarakat yang lebih luas dan makin
melembaga, mapanlah posisi budaya jamu tradisional yang kita gunakan
dalam bahasa sehari-hari sekarang.

Konsep ini lahir sesudah terjadi perubahan-perubahan sosial yang cepat
dan menukik di dalam masyarakat.Tata kehidupan dan cara-cara pengelolaan
hidup menjadi semakin berkembang, semakin maju dan modern, dan muncullah
obat dan sistem pengobatan modern.Pertemuan dua dunia ini terjadi dengan
nyaman dan aman, tapi ada kalanya diwarnai ketegangan dan penuh semangat
saling mengejek. Saya akrab dengan jamu sejak kecil.Dan sesudah dewasa,
saya pun belajar sedikit antropologi kesehatan, yang membuat apresiasi
saya pada jamu makin bagus.

Saya hormat betul pada tradisi dan jamu tradisional tanpa menyingkur—
mana mungkin—apa yang modern. Selagi bisa, saya membela semua jenis
produk nasional kita agar tak tergilas di pertarungan pasar bebas yang
tak sehat.Tanpa menyinggung siapa-siapa, saya harus menekankan lagi
bahwa saya menyukai sirih, bukan untuk bergaya melainkan untuk kebutuhan
sehat. Saya juga makan cengkih, bukan hanya untuk hangat, melainkan juga
untuk penyegar aroma napas. Ini kebutuhan mendalam, bukan lifestyleyang
mudah luntur.

Orang lain bolehlah gemar mobil mewah atau apa,saya tak akan bersikap
sinis. Maka hak saya untuk menyukai sirih jangan dianggap gangguan.Suka
sirih dan cengkih ini hasil pendidikan Mbah Tjokro, ahli jamu, yang
hidup lebih lima puluh tahun lalu. Saya membantu menyiapkan bahanbahan,
antara lain sirih,cabe— bukan cabai atau lombok— cengkih, bunga sirih,
daundaun legundi—pahit melebihi brotowali—adas pulawaras, jinten,kunir,
jahe,lempuyang, merica hitam, merica biasa, babakan pule, bengle, dan
ada juga brotowali, yang diramu tersendiri.

Unsur-unsur dari alam itu diramu dan dipipis dengan watu gandik, batu
bulket, disiapkan khusus, dan dengan batu hitam ceper, sebagai landasan
pemipisan. Mipis itu intinya menumbuk hingga halus lembut semua unsur
tadi, sesudah dikombinasikan satu sama lain dengan ukuran dan
pencampuran sesuai kebutuhan. Saya masih bocah dan belum paham bagaimana
resepnya. Hingga hari ini, resep jamunya tak ada yang tahu, dan sudah
hilang bersama Mbah Tjokro, yang sejak lama menghadap Tuhan.

Tak ada seorang pun penerus di keluarga kami. Juga di antara para
tetangga. Saya dilatih di dalam antropologi, dan memahami,bahwa apa yang
agung, dan mulia, macam jamu Mbah Tjokro,bisa mati, bisa lenyap, tanpa
bekas. Ini bisa terjadi karena himpitan modernitas yang agresif dan
meluas. Bisa juga karena kondisi manusia: usia beliau terbatas. Maka di
kampungku, jamu tradisional itu mati secara alamiah. Kematian ini patut
disayangkan, tapi tak perlu ditangisi.Apa yang hidup akhirnya memang
mati.Tapi apa yang hidup punya naluri mempertahankan kehidupannya.

Di tempat lain, di mana jamu masih hidup,saya ikut melindungi dan
mempertahankan hidupnya. Untuk apa saya melakukan ini? Mungkin untuk
bakti pada pusaka bangsa. Kita menganggap jamu bagian dari pusaka itu.
Mohon dicatat, pusaka bukan hanya senjata macam keris atau tombak. Dalam
tradisi keraton,perempuan,juga putri boyongan, dianggap pusaka kedaton
juga.Selebihnya, saya berbakti pada masyarakat, pada bangsa,pada negara
yang harus merawat pusaka tadi agar tak dicaplok bangsa lain. Hutan
tropis kita mahakaya akan bahan-bahan obat atau jamu yang sudah dicuri
bangsa lain dan diam-diam dipatenkan.

Kita harus bangkit. Jamu bukan hanya menyehatkan badan, tapi juga
menyehatkan ekonomi perajin cilik. Pabrik besar? Jelas lebih sehat
ekonominya. Sebagai bagian dari tradisi, jamu direkam atau diabadikan
dalam buku-buku. Banyak variasi buku tentang jamu,diselingi
mantra-mantra. Jamu biasa, yang diminum harian; jamu khusus bikin
langsing, bikin kulit lembut bersinar seperti betis Ken Dedes yang
berkilau; dan juga jamu penguat gairah dan tenaga seksual.

Kitab primbon juga memuat jamu.Keraton Yogya menerbitkan juga sebuah
buku megah: Kraton Yogya: The History and Cultural Heritage.Di dalamnya
adapenjelasanmengenaijamu. Ini membuktikan, di kampung saya jamu mati,
dan saya tak menangis.Tapi di tempat lain, di mana jamu hidup,dan
menghidupi, saya membela hak hidupnya.

Kalau kalah? Melawan. Kalah lagi? Melawan lagi. Tetap kalah? Melawan
terus. Masih kalah? Saya akan belajar,apa rahasia yang membuat musuh itu
menang. Dan dengan ilmu rahasia itu, lawan saya kalahkan.●

M SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk
Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat
Kesehatan.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/436336/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

No comments: