Pages

Sunday, October 16, 2011

[Koran-Digital] Spekulasi Pasar Modal Biang Kesengsaraan

Koreksi hanya bisa dilakukan saat sistem keuangan yang diterapkan di seluruh dunia itu sudah benar-benar ambruk.

MASYARAKAT mulai menyadari bahwa praktik pasar modal tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat secara luas. Bahkan, pasar modal maupun pasar fi nansial secara umum kerap mendatangkan kesengsaraan rakyat.

Pengamat ekonomi Didik J Rach bini mengemukakan hal itu, di Jakarta, kemarin. Ia menanggapi gerakan Occupy Wall Street (pendudukan Wall Street) di Amerika Serikat yang telah menjalar ke berbagai negara.

Aksi tersebut merupakan bentuk protes terhadap pasar fi nansial yang dituding selalu menjadi

biang keladi resesi global.

“ K e n y a t a a n n y a m e m a n g orang-orang yang banting tulang bekerja membuat produk kalah (sejahtera) ketimbang orang yang hanya duduk kipas-kipas di pasar modal,” ujar Didik dengan nada geram.

Menurut dia, sistem ekonomi yang lebih condong memperkuat pasar fi nansial hanya menguntungkan para spekulan di pasar modal. Adapun kontribusi riil tidak dirasakan para pekerja.

“Dalam banyak sisi, pasar modal itu jahat karena membuat dunia berlimpah dengan uang.

Melimpahnya uang akan memicu inflasi. Akhirnya, harga-harga melambung hingga menjadi tidak terjangkau,” ujarnya.

Kondisi itu, lanjut Didik, hanya menguntungkan para spekulan. Buruh dan petani yang membuat produk-produk tersebut tidak mendapat untung apa-apa. Bahkan jadi sengsara karena harga pangan jadi tidak terjangkau.

Meski demikian, ia mengakui sangat sulit menghindari praktik

ekonomi yang ditopang pasar finansial karena begitu besarnya sistem tersebut.

“Sistem keuangan global ini, meskipun buruk dan berdampak negatif, tapi karena sangat besar, jadi sulit untuk dihindari.
(Sistem) Ini buruk, tapi sebuah keniscayaan,“ papar Didik.

Lebih jauh, dia juga menjelaskan sistem itu tidak punya mekanisme koreksi. Bahkan presiden pun tidak bisa mengoreksi.

Koreksi hanya bisa dilakukan saat sistem keuangan yang diterapkan di seluruh dunia itu sudah benar-benar ambruk.

Dalam menanggapi kondisi itu, Didik menilai kesadaran yang sudah timbul secara global ini perlu juga diadopsi ke dalam negeri. Menurut dia, gerakan Occupy Wall Street terjadi karena kondisi ekonomi yang timpang dan tidak adil. Hal serupa juga terjadi di Indonesia.
Dorong harga Koalisi Anti-Utang (KAU) juga menyatakan dukungan kepada gerakan Occupy Wall Street. Pro gram Officer Sekretariat Nasional KAU Yuyun Harmono di Jakarta, kemarin mengatakan kenaikan harga pangan di Indonesia dan di dunia dalam lima tahun terakhir disebabkan pelaku industri jasa keuangan yang memperdagangkan komoditas derivatif.

Sayangnya, pertemuan tingkat menteri keuangan G-20 yang berlangsung di Paris, Prancis, pekan lalu, gagal menyepakati penghentian spekulasi komoditas pangan menjadi keputusan bersama anggota G-20.

“Kegagalan untuk melarang spekulasi pangan semakin menunjukkan G-20 tidak lebih dari kepanjangan tangan institusi finansial dan korporasi transnasional. Keputusan yang disepakati hanya sebatas transparansi pasar derivatif komoditas pangan yang diimplementasikan pada akhir 2012,“ ungkap Yuyun.

KAU menuntut pemerintah menolak sistem kapitalistikneoliberal berdasarkan pasar bebas. (*/Ant/E-1)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/mailcontent/GalleryView.shtml?GId=17102011012030

No comments: