Burhanuddin Muhtadi Pengajar FISIP UIN Jakarta dan peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI)
Akibatnya, pada ujung-ujungnya yang terjadi ialah reshuffle tambal sulam. `Kabinet politik' yang didominasi para menteri dari partai yang kurang kompeten akan dipertahankan."
“TO rule is easy, to govern is dif ficult.“ Demi kian sambutan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Peringatan Ulang Tahun ke-46 Golkar, beberapa waktu lalu. Kutipan itu seolah menjadi pesan politik halus yang dikirimkan Aburizal, bahwa pemerintahan SBY takkan bisa mengabaikan faktor partai politik yang mendukungnya di parlemen, terutama dari Partai Golkar.Pakar politik Giovanni Sartori mengingatkan, “The problems of presidentialism are not in the executive arena but in the legislative arena.“ Wajah pemerintahan jilid kedua SBY yang tersandera oleh partai politik itulah yang sedang kita saksikan secara sempurna, terutama ketika SBY mendramatisasi proses perombakan kabinet. Faktor kalkulasi politik yang terkait dengan desain koalisi dalam isu reshuffle begitu dominan. Beauty contest Setidaknya muncul tiga spekulasi mengapa proses reshuffl e dilakukan secara berteletele. Pertama, SBY gamang menentukan nasib PKS dalam format koalisi mendatang.
Perang ‘gertak sambal’ melibatkan elite PKS dan Partai Demokrat. Rapimnas PKS yang baru saja berlangsung tak bisa dilepaskan dari ancaman tercoretnya partai tersebut dari barisan koalisi. Kedua, penambahan porsi wakil menteri hingga belasan orang menunjukkan SBY tak percaya menteri-menterinya sendiri, terutama yang berasal dari partai koalisi sehingga harus ‘dikawal’ oleh wakil-wakil menteri. Ketiga, proses reshuffl e yang berlarut-larut disebabkan ada beberapa menteri, terutama Menteri Keuangan, yang tidak diinginkan Partai Golkar.
SBY terjebak oleh ‘kabinet politik’ yang dia bentuk sendiri. Dominasi para menteri dari parpol dalam Kabinet Indonesia Bersatu II membuat SBY tak leluasa melakukan perombakan. Alih-alih mendapatkan dukungan di parlemen,
pemerintahan SBY yang di atas kertas mengantongi dukungan 75,54% atau 423 dari 560 kursi di DPR justru menghadapi musuh-musuh dalam selimut.Jika saja performa `kabinet politik' SBY memuas kan, mungkin disiplin koalisi yang lemah di parlemen itu bisa dimaafkan. Namun yang terjadi, soliditas koalisi malah hancur berantakan. Kinerja kabinet politiknya pun masih jauh panggang da ripada api.
D r a matisasi reshuffle yang dil a k u k a n SBY menimbulkan sinisme publik bahwa isu reshuffle lebih terkait dengan agenda para elite politik untuk bagi-bagi kue kekuasaan ketimbang mengu bah arah fundamental pemerintahan yang berguna bagi masyarakat luas. Awalnya tahap kajian kinerja kementerian berdasarkan evaluasi periodik Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Lalu, SBY terlihat mendegradasi hak prerogatif dalam merombak kabinet melalui konsultasi politik dengan pimpinan partai-partai koalisi, hingga tampil bersama elite koalisi dalam press conference beberapa hari lalu.
Lama-kelamaan, proses reshuffl e lebih mirip panggung drama pencarian bakat, atau laksana beauty contest ketika tahapan beranjak pada pemanggilan menteri-menteri lama yang akan diganti hingga pemanggilan calon-calon menteri untuk mengikuti uji kelayak an dan kepatutan. Sampai tulisan ini dibuat, proses beauty contest itu belum juga berakhir. Tahap fi nalnya nanti akan ditutup dengan policy speech yang berisi pidato SBY pada saat pengumuman kabinet hasil reshuffl e.
Secara komunikasi politik, isu reshuffle yang mengular
dan bertele-tele itu bisa menjadi bumerang bagi SBY. SBY terlalu memberi ruang pada partai koalisi untuk campur tangan dalam perombakan kabinet. Proses yang berlarutlarut itu juga membuat para menteri bekerja secara waswas dan tak nyaman. Efek negatif yang lain, SBY dinilai tidak mampu mengambil pelajaran dari penyusunan awal kabinet jilid keduanya. Saat itu, fit and proper test calon-calon menteri juga mirip beauty contest, tapi hasilnya ternyata jauh dari ekspektasi publik. Tersandera koalisi presidensial Dalam studi politik, kasus perombakan kabinet yang berlarut-larut itu menunjukkan bahwa pendekatan pelembagaan formal kurang mampu menjelaskan perilaku elite dalam berkoalisi. Secara formal, SBY memiliki ‘kapling eksklusif’ yang dijamin konstitusi dalam menyusun dan merombak kabinet. Namun, desain formal sistem presidensial yang kita anut membuat SBY harus berbagi kekuasaan dengan partai-partai koalisi yang mendukungnya.Secara realitas sui ge
neris, koalisi presidensial yang dibangun SBY menghadapi jalan terjal dan berliku. Jumlah partai yang sangat banyak dan terfragmentasikan secara ekstrem menyebabkan kabinet sulit mendapatkan `partai mayoritas'. Idealnya, hanya ada satu `partai mayoritas' yang diharapkan mampu mengusung presiden yang didukung partai yang menguasai single majority di DPR.Sartori menyebutnya dengan istilah outdistances all others.
Sejumlah ahli politik mengafirmasi sulitnya sistem presidensial jika dipadukan dengan sistem multipartai ekstrem.
Juan Linz dan Arturo Velenzuela, dalam The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America (1994), mengatakan sistem presidensial yang diterapkan di atas konstruksi politik multipartai cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen, serta akan menghadirkan demokrasi yang tidak stabil.
Hal itu disebabkan dual legitimacy. Kedua lembaga samasama dipilih rakyat. Studi Scott Mainwaring dan Matthew Soberg Shugart, dalam Presidentialism and Democracy in Latin America (1997), menyebutkan bahwa kombinasi sistem presidensial dan multipartai akan melahirkan ‘presiden minoritas’, dan pada akhirnya akan
menghasilkan pemerintahan yang terbelah (divided government). Presiden akan tersandera secara politik dan sangat sulit mendapatkan dukungan politik di parlemen.Oleh karena itu, Mainwaring (1993) menyebut sistem presidensial yang dibangun di atas fondasi sistem multipartai (seperti kasus Indonesia) sebagai difficult combina tion. Cross-national survey yang dilakukan Mainwar ing menunjukkan, dari 31 negara di dunia yang demokrasinya stabil (lebih dari 25 tahun secara berturut-turut mene rapkan sistem demo krasi), tidak ada satu pun yang menganut sistem presiden sial berbasis multipar tai, se perti kasus di Indonesia. Desain institusi yang ganjil itu makin berdampak negatif jika pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, yakni presiden, kurang tegas. Dalam realitas politik yang kurang kondusif semacam itu, SBY malah memakai pendekatan informal dalam bernegosiasi dengan para elite koalisi.
Pendekatan informal, yang secara akademis didedahkan Guillermo O'Donnel (1996), sejatinya bersifat netral. Aturan formal bisa bersifat akomodasi dan komplementer, atau menopang aturan formal seperti kasus pengunduran diri pejabat-pejabat di Inggris ketika terkena skandal. Secara formal, tidak ada aturan yang mengharuskan mereka mundur.
Namun pendekatan informal bisa berakibat negatif jika dilakukan lewat substitusi (pengganti aturan formal) dan competing atau saling berkompetisi (Lauth, 2000). Apa yang disuguhkan SBY dalam merombak kabinetnya menunjukkan desain formal presidensial tergerogoti oleh aturan-aturan informal yang mendegradasi hak prerogatif presiden dalam menyusun kabinet. Bahkan, lama-kelamaan formalisasi pendekatan informal makin dipertontonkan SBY secara telanjang ketika dia berpidato dengan diiringi enam pemimpin partai koalisi beberapa hari lalu.
Di satu sisi SBY bisa berdalih bahwa pendekatan informal yang mengacu pada konsensus dan konsesi itu penting untuk menyiasati keganjilan sistem presidensial plus multipartai.
Namun di sisi lain, model yang dipakai SBY jelas mengarah pada pendekatan transaksional. Gaya politik transaksional bertumpu pada konsesi politik. Profesionalisme dan meritokrasi tak lagi menjadi acuan. Ketegasan menjadi barang mahal karena terlalu banyak pertimbangan dan kalkulasi politik yang dijadikan konsiderans.
Akibatnya, pada ujungujungnya yang terjadi ialah reshuffle tambal sulam. `Kabinet politik' yang didominasi para menteri dari partai yang kurang kompeten akan dipertahankan. Kalaupun toh ada menteri dari partai yang digeser, bisa dipastikan penggantinya berasal dari partai yang sama. Asas profesionalitas dan kapabilitas dikalahkan pertim bangan representasi politik.
Lantas, masihkah kita berharap pada kabinet pasca-reshuffle nanti?http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/10/17/ArticleHtmls/Jebakan-Kabinet-Politik-dalam-Koalisi-Presidensial-17102011017003.shtml?Mode=1
No comments:
Post a Comment