Pages

Saturday, March 13, 2010

Fwd: [Koran-Digital] Asvi Warman : Dua Aspek Supersemar

---------- Forwarded message ----------
From: Koran Digital <korandigital@*****.com>
Date: 2010/3/10
Subject: [Koran-Digital] Asvi Warman : Dua Aspek Supersemar



Dua Aspek Supersemar
Tuesday, 09 March 2010
Setelah 44 tahun dikeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar), kasus ini masih menyimpan misteri.Teks aslinya belum
terdapat pada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sedangkan
proses mendapatkan surat itu semakin jelas.


Dokumen otentik dan cara memperolehnya dapat diibaratkan dua sisi mata
uang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan.Kedua aspek itu seyogianya
diulas secara berimbang. Dokumen Supersemar yang ada pada Arsip
Nasional Republik Indonesia terdiri dari beberapa versi. Namun,
sesungguhnya perbedaan antarnaskah,misalnya mengenai tempat
penandatanganannya apakah Jakarta atau Bogor, tidaklah mengubah
substansinya. Demikian pula jumlah halaman surat perintah tersebut,
satu atau dua halaman,itu hanya soal teknis. Yang penting dipahami
bahwa awal 1966 itu tampaknya belum ada mesin fotokopi di lingkungan
Kostrad.

Dengan demikian, surat itu distensil atau dengan kata lain diketik
ulang. Bila demikian halnya, maka tidak aneh jika terdapat berbagai
perbedaan. Bahkan, pernyataan Ben Anderson bahwa Supersemar itu
tertulis dalam kertas surat dengan kop MBAD juga masuk akal. Boleh
jadi surat tersebut diketik ulang oleh seorang staf MBAD dengan kertas
surat resmi yang berlogo AD.Pada masa itu pengetikan surat biasanya
dilakukan dengan memakai kertas karbon (lembar di bawah karbon disebut
tindasan). Dua nama pernah disebut sebagai pengetik surat itu yakni
Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur dan Asisten I Intelijen Resimen
Cakrabirawa Letkol Ali Ebram.

Mana yang benar? Mungkin saja keduanya karena surat itu diketik
minimal dua kali yakni draf dan surat asli. Jenderal M Jusuf adalah
salah seorang pelaku sejarah keluarnya Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar) 1966. Setelah saksi lainnya meninggal, maka harapan
tertumpu kepada sang jenderal yang pernah menjadi panglima ABRI
ini.Dia mengatakan bahwa rahasia ini akan terbuka setelah dia tiada.
Maka penerbitan buku biografi Jendral M Jusuf, Panglima Para Prajurit
ditunggu masyarakat. Jusuf dalam biografinya mengungkapkan bahwa dia
memiliki konsep pertama, konsep kedua (setelah dikoreksi Soebandrio
dan Chairul Saleh), dan tindasan kedua dari surat perintah tersebut.
Jadi, surat itu diketik dengan menggunakan kertas karbon sehingga
selain dari surat asli terdapat pula tindasan pertama dan kedua.

Yang asli diserahkan kepada Basuki Rachmat, tindasan pertama dipegang
Sabur, dan yang kedua diberikan kepada Jusuf.Tindasan pertama dan
kedua tidak ditandatangani oleh Presiden Sukarno. Seandainya hal ini
benar,seyogianya keluarga M Jusuf dapat menyerahkan arsip-arsip
tersebut kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Namun,
peluncuran buku yang diselenggarakan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan
dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudoyono di Jakarta tanggal 10 Maret
2006 menjadi semacam antiklimaks karena setelah itu Djoko Utomo Kepala
ANRI menyatakan keraguannya terhadap keotentikan surat yang
menggunakan logo Garuda Pancasila itu.

Menurut Djoko Utomo, surat yang dikeluarkan Presiden RI tanggal 11
Maret 1966 itu berlambangkan Padi-Kapas seperti pada undang-undang
yang ditandatangani oleh presiden. Sedangkan lambang Garuda Pancasila
digunakan oleh menteri/departemen. Masalahnya apakah di Istana Bogor
selalu tersedia kertas surat yang berkop Padi-Kapas ini karena
biasanya surat-surat resmi presiden dikeluarkan di Jakarta. Meskipun
dokumen asli Supersemar itu belum ditemukan,toh beberapa versi yang
ada sudah mengungkapkan substansi dari perintah tersebut.Yang jadi
masalah bahwa ada bagian-bagian dari surat perintah itu yang tidak
dijalankan Soeharto. Soeharto tidak melaporkan hasil pekerjaannya
kepada Presiden Soekarno.

Aspek kedua yaitu proses memperoleh surat tersebut yang perlu
dijelaskan kepada masyarakat terutama kepada para siswa.Surat itu
diberikan bukanlah atas kemauan dan keinginan Presiden Soekarno.
Beliau menulis surat itu di bawah tekanan.Tiga Jenderal datang ke
Istana Bogor untuk meminta surat tersebut. Sebelum berangkat ke Bogor
ketiga perwira tinggi itu terlebih dahulu berunding dengan Soeharto di
rumahnya di Jalan Haji Agus Salim,Jakarta. Tekanan yang diberikan
kepada Presiden Soekarno tergambar dalam kesaksian yang ditulis
Soebandrio.

Ketika surat itu dimanfaatkan untuk membubarkan PKI esok harinya
(bahkan surat pembubaran partai komunis nomor tiga terbesar di dunia
itu dikeluarkan Soeharto atas nama Presiden Soekarno dini hari tanggal
12 Maret 1966) terkesan bahwa Supersemar memang sengaja dipersiapkan
untuk itu. Keputusan tersebut memperlihatkan bahwa Soeharto telah
berani menantang Presiden Soekarno. Dengan kata lain, setelah
keluarnya Supersemar secara de facto kekuasaan telah beralih dari
tangan Presiden Soekarno kepada Soeharto.

Supersemar Diberikan di Bawah Tekanan

Tanggal 9 Maret 1966 malam Hasjim Ning dan M Dasaad, dua pengusaha
yang dekat dengan Presiden Soekarno, diminta oleh Asisten VII Men/
Pangad Mayjen Alamsjah Ratu Perwiranegara untuk juga membujuk Presiden
Soekarno agar menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.

Jelas upaya ini sepengetahuan Letjen Soeharto. Keduanya kemudian
mendapat surat perintah yang ditandatangani sendiri oleh Men/ Pangad
Letjen Soeharto yang menyatakan bahwa mereka adalah penghubung antara
Presiden Soekarno dan Men/ Pangad.Keduanya berhasil bertemu dengan
Presiden Soekarno pada 10 Maret 1966 di Istana Bogor.Hasjim Ning
menyampaikan pesan tersebut. Presiden Soekarno menjadi marah dan
melempar asbak kepadanya sambil berkata: "Kamu juga sudah pro-
Soeharto!"Dari sini terlihat bahwa usaha membujuk Soekarno telah
dilakukan, kemudian diikuti dengan mengirim tiga orang jenderal ke
Istana Bogor. Sementara itu mantan Kepala Staf Kostrad Kemal Idris
mengajukan satu kalimat.

Katanya, "Kalau saya tarik pasukan itu dari Istana, Presiden Soekarno
tidak akan lari, kan?" Dengan kata lain, dia ingin mengatakan,kalau
"pasukan liar" yang berada di bawah komandonya ditarik dari sekeliling
Istana belum tentu ada Supersemar. Seperti diketahui, Brigjen Kemal
Idris pada waktu itu mengerahkan sejumlah pasukan dari Kostrad dan
RPKAD untuk mengepung Istana.Tujuan utamanya adalah menangkap Dr
Soebandrio yang ditengarai bersembunyi di kompleks Istana.Memang
pasukan-pasukan itu mencopot identitas mereka sehingga tidak
mengherankan Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkannya sebagai
"pasukan tidak dikenal" kepada Presiden Soekarno.

Sebetulnya banyak faktor yang terjadi sebelum tanggal 11 Maret 1966
yang semua menjadikan semacam "tekanan" yang berfokus terhadap
Presiden Soekarno. Dan puncak dari tekanan itu datang dari ketiga
jenderal di atas. Bila tidak ada demonstrasi dan pasukan tak dikenal
yang mengepung Istana di Jakarta tentu peristiwa keluarnya Supersemar
di Bogor tidak terjadi.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/309660/

No comments: