Pages

Sunday, October 16, 2011

[Koran-Digital] BAMBANG SETIAJI: Kesulitan Menilai Kinerja

Kesulitan Menilai Kinerja PDF Print
Monday, 17 October 2011
Penilaian kinerja pejabat publik, terlebih setingkat menteri bukan
persoalan gampang. Pada akhirnya, reshuffle menjadi lebih bersifat
politis daripada kinerja publik.


Sejak 1970-an, publik di negara maju mulai mempertanyakan efektivitas
sektor pemerintahannya. Negara-negara yang bergabung dalam OECD sejak
1980-an mulai bergeser ke new public management di mana salah satu
komponennya adalah pengukuran kinerja yang lebih transparan.Adanya
perkembangan teknologi informasi juga menjadi salah satu faktor
pendorong meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap kinerja pemerintahannya.

Mengutip pendapat ahli dari Birmingham University, Profesor Rowan
Jones,pengukuran kinerja di sektor publik jauh lebih kompleks
dibandingkan sektor bisnis yang berbasis uang.Pengukuran nilai tambah
berupa perbedaan harga barang yang dibayar oleh masyarakat dan biaya
untuk memproduksi barang sulit diterapkan di sektor pemerintahan.
Satu-satunya elemen dalam sektor pemerintahan yang bisa diukur dengan
nilai uang adalah input.Misalnya jumlah anggaran yang terserap, terlepas
dari efektivitas dan efisiensi penggunaannya.

Sedangkan output masih bisa diukur tapi tidak bisa menggunakan nilai
uang, misalnya jumlah anak yang lulus ujian nasional, jumlah gedung yang
dibangun. Sedangkan outcome, merupakan sesuatu yang abstrak dan
kompleks, pengukurannya harus menggunakan survei, atau wawancara
terlebih dahulu.

Pengukuran efisiensi di instansi pemerintah juga sukar dilakukan akibat
tidak bisa dibandingkannya secara langsung output dengan input,
peningkatan produk pertanian dibanding anggarannya dan jumlah lapangan
kerja yang berhasil diciptakan oleh menteri perekonomian. Terlebih lagi
kalau ditanyakan, misalnya ekonomi Indonesia membaik, benarkah itu usaha
sebuah departemen, atau rakyat sendiri secara otonom menciptakan usaha
ekonomi?

Pengalaman Negara Maju

Sejak akhir 1990-an, pemerintah Inggris mulai menerapkan Public Service
Agreement (PSA).PSA tersebut ditandatangani antara menteri berisi target
nasional di berbagai bidang yang sejauh mungkin bisa diukur dengan
objektif dan bisa diakses oleh masyarakat. Audit kinerja para menteri di
Inggris dilakukan oleh National Audit Office (NAO) semacam BPK-nya
Inggris. Untukmeningkatkanobjektivitas penilaian kinerja, indikator yang
dipilih cenderung dipersempit dan lebih bersifat teknis sehingga
penilaian yang bersifat kualitatif bisa dihindari.

Untuk bisa menjalankan PSA tersebut, kiranya perlu dibentuk sebuah tim
audit yang kuat. Di Indonesia, apabila BPK––yang selama ini mengurusi
audit keuangan, diberi wewenang mengaudit kinerja para menteri berarti
BPK harus lebih netral, profesional, dan independen.Tantangan untuk
melaporkan kinerja menteri cukup berat.Auditor bisa ciut nyali ketika
memberikan opini buruk tentang kinerja menteri, meskipun sudah berbasis
PSA yang terukur dan nonkualitatif.

Kedua, persinggungan ke masalah politis akan sangat kuat manakala
masalah kinerja tersebut menyangkut informasi yang sensitif atau
departemen yang cukup kuat dalam kekuasaan. Posisi BPK akan sangat
dilematis, misalnya siapakah yang paling pas dalam memberi mandat
mengaudit kinerja para menteri presiden atau parlemen sebagai
manifestasi dari rakyat yang mempertanyakan kinerja pemerintahannya.
Dalam sistem presidensial, memang presidenlah yang harus bertanya
tentang kinerja para pembantunya.Namun kriteria obyektif dan independen
tetap diperlukan sebagaimana harapan masyarakat, supaya reshuffle bukan
hanya untuk tujuan politis, terlebih untuk membelokkan berita dan isu
yang sedang kurang menguntungkan bagi kabinet.

Short Cut

Adanya PSA di satu sisi akan meningkatkan transparansi pengukuran
kinerja dan menghindari subjektivitas pengukuran kinerja. Akan tetapi,
publik harus tetap waspada karena menteri atau departemen bisa melakukan
short cut untuk memenuhi target sebagaimana disepakati dalam PSA. Selain
itu,para menteri bisa jadi hanya akan fokus bekerja pada pencapaian
target sesuai dengan yang disebutkan dalam PSA.

Jika para menteri melakukannya, bisa jadi perilaku menyimpang para
menteri akan menjadi kenyataan, misalnya memanipulasi data-data
kinerjanya ataupun memanipulasi input yang menjadi dasar penilaian
kinerjanya. Terbatasnya indikator yang disebutkan dalam PSA, tentunya
tidak akan bisa memenuhi keinginan semua pihak.Kutub rakyat dan
pemerintah pasti akan saling bertolak belakang, misal rakyat ingin
pendidikan yang berkualitas yang disimbolkan dengan rasio guru dengan
murid yang ideal.Akan tetapi, terbatasnya jumlah anggaran memaksa
sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan tanpa mempertimbangkan rasio
guru dengan murid.

Belum lagi apabila berpikir untuk seluruhnya baik institusi di sekolah
negeri dan swasta di mana mayoritas mahasiswa berada. Meskipun berbagai
kekhawatiran kelemahan penggunaan PSA muncul, setidaknya presiden dan
masyarakat bisa membuat keputusan yang lebih reliable dan objektif
terkait dengan reshufflepara menteri.

Penggunaan PSA selama hampir 12 tahun di negara maju membuktikan bahwa
konsep ini cukup teruji diterapkan di dunia pemerintahan. Para menteri
harus bekerja ekstrakeras untuk mewujudkan PSA karena belum tentu
elemen-elemen di bawah, memahami dan berkomitmen seperti yang dilakukan
oleh menteri tersebut.●

PROF BAMBANG SETIAJI
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta
&
IBRAHIM FW
Alumni University of Birmingham, Dosen Universitas Sebelas Maret

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/436339/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

No comments: