Dari hasil survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dipimpin Denny JA, partai yang dipimpin Aburizal Bakrie itu justru meroket ke posisi 18,2% di tengah anjloknya popularitas SBY. Sementara itu, Partai Demokrat yang per Januari 2010 masih unggul di posisi 32,6% harus rela terjun bebas ke posisi kedua, sebesar 16,2%.
Itulah temuan survei nasional ter baru LSI yang dilakukan pada 5-10 Oktober 2011 di 33 provinsi dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang yang dipilih berdasarkan metode multi-stage random sampling.
Wawancara dilakukan dengan tatap muka, margin of error plus minus 2,9%, dan dilengkapi juga dengan data riset kualitatif berupa focus group discussion, depth interview, dan analisis media pada bulan yang sama.
Dalam survei itu, responden memberikan lima rapor merah pada pemerintahan SBY, yakni bidang ekonomi, hukum, politik, luar negeri dan sosial. Satu rapor biru diberikan untuk bidang keamanan. Peneliti LSI Ardian Sopa, yang merilis hasil survei bertajuk Dua Tahun Presiden SBY, Lima Rapor Merah, Satu Rapor Biru, itu di Jakarta, kemarin, mengungkapkan ada beberapa faktor yang membuat Golkar meroket di tengah anjloknya popularitas Presiden Yudhoyono.
Salah satunya kemampuan dan kecerdasan Partai Golkar dalam memanfaatkan momentum hiruk pikuk politik nasional yang makin memanas dengan aneka program dan kerja nyata yang makin memopulerkan Golkar dan ketua umumnya.
Sopa menyebut sejumlah kegiatan merakyat yang dilakukan Golkar dan ketua umumnya, Aburizal Bakrie, seperti dialog telekonferensi dengan para petani di sejumlah daerah--hampir sama dengan kelompencapir pada masa Presiden Soeharto-dan program nyata berupa bantuan serta pelatihan buat para pelaku usaha kecil dari Aceh sampai Papua.
“Harus jujur diakui, baru Golkar partai yang memulai kampanyenya jauh sebelum 2014 dengan program populis yang dipublikasikan secara masif di media massa, yaitu Gerakan Ayo Bangkit yang memberi bantuan insentif sekaligus pelatihan kepada para pelaku usaha kecil di seluruh provinsi. Gerakan ini akan makin mendekatkan Golkar dengan rakyat. Kalau ini konsisten dilakukan, saya yakin tingkat dukungan publik kepada Golkar semakin menguat,“ ungkap Sopa.
Menurut Sopa, merosotnya citra SBY dan Demokrat saat ini membuat mood pemilih mulai mencari alternatif kekuatan lain. Pun Golkar termasuk kekuatan alternatif yang potensial dipilih mayoritas publik.
Kenapa migrasi dukungan itu tidak serta-merta diberikan mayoritas kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang sudah jelas-jelas berada di kaki oposisi dan tidak tercemar citra buruk pemerintahan SBY? Berbeda dengan Golkar yang dianggap paket dengan SBY?
Dalam menjawab hal itu, Sopa menjelaskan, secara politis dan ideologis, pemilih Partai Demokrat dan Partai Golkar memiliki karakter kurang lebih sama, yakni sama-sama partai tengah. Berbeda dengan PDIP yang secara ideologis dianggap lebih bersifat kiri, sehingga harus puas di posisi ketiga sebesar 12,5%. Begitu juga PKS dan PPP yang dianggap bersifat kanan dengan tingkat dukungan di bawah 10%.
“Dari tiga karakter pemilih ideologis tadi, mereka yang kecewa kepada Demokrat sangat potensial pindah ke Golkar. Tapi, itu pun kalau Golkarnya dianggap memberi nilai lebih. Nah, ini semua tergantung bagaimana Golkar menjawab kekecewaan para pemilih Demokrat ini. Tentu dengan program yang makin meyakinkan mood publik tadi.“
Bursa capres Pada saat yang bersamaan, merosotnya kepuasan publik kepada SBY juga memberi efek elektoral yang makin menguatkan posisi kompetitor SBY, baik sebagai partai politik maupun sebagai calon presiden (capres).
Untuk capres, misalnya, semua calon Demokrat hanya berada di divisi dua, dengan dukungan di bawah 10%. Tokoh Demokrat, mulai dari Ani Yudhoyono, Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, dan Edhie Wibowo belum mendapat dukungan yang cukup.
Dukungan capres di atas 10% hanya diperoleh Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Aburizal Bakrie. Megawati dan Prabowo adalah pemimpin partai oposisi, sedangkan Aburizal adalah pemimpin Partai Golkar, kompetitor yang sekarang sudah menggeser Partai Demokrat.
Terkait dengan rencana reshuffle kabinet sebelum 20 Oktober ini, apakah langkah tersebut mampu mendongkrak citra SBY? Sopa mengatakan hal itu bergantung pada formasi baru kabinet yang dihasilkannya. Kalau SBY mampu melakukannya dengan baik tanpa ada tekanan dan sanderaan dari partai politik yang menyokongnya, citra itu sedikit demi sedikit akan pulih. Minimal tidak membuat citranya makin anjlok.
Jika SBY salah melakukan reshuffle, malah menteri yang dinilai `cacat' oleh publik dan tidak diganti, bisa jadi justru makin menjadi bulan-bulanan publik serta akan berakhir dengan citranya yang makin terpuruk. Sebab, masalah utama SBY sebenarnya terletak pada kepemimpinannya yang dinilai lembek. Padahal, dengan dukungan mayoritas pemilih di atas 60%, harusnya SBY percaya diri.
“Tapi, kalau saya amati dari cara Pak SBY melakukan sebelum reshuffle saat ini, cukup terkesan sangat kuat adanya dramatisasi yang melelahkan dan menjengkelkan publik.Misalnya, mulai dari berkantor di Cikeas, memanggil para calon wakil menteri dulu, menanggapi bahwa tidak semua menteri yang dipanggil ke Cikeas terkait reshuffle, dan seterusnya. Saya khawatir, ujungnya nanti malah tidak seheboh ketika sebelum reshuffle. Artinya, tidak banyak perubahan karena kuatnya tekanan parpol,“ ungkapnya. (S-25)
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/10/17/ArticleHtmls/Demokrat-Merosot-Golkar-Meroket-17102011004016.shtml?Mode=1
No comments:
Post a Comment