Pages

Sunday, October 16, 2011

[Koran-Digital] Mikhail Gorbachev: Menuju Pelucutan Senjata Nuklir

Menuju Pelucutan Senjata Nuklir
Mikhail Gorbachev, MANTAN PRESIDEN UNI SOVIET

Dua puluh tahun yang lalu pada bulan ini, saya duduk berhadapan muka
dengan Ronald Reagan di Reykjavik, Islandia, untuk merundingkan
kesepakatan yang bakal mengurangi, dan pada akhirnya bisa memusnahkan
senjata nuklir, yang berada di tangan Amerika Serikat dan Uni Soviet
sebelum 2000.

Kendati ada perbedaan di antara kami berdua, Reagan dan saya berbagi
keyakinan yang kuat bahwa negara-negara yang beradab tidak seharusnya
bersandar pada senjata pemusnah massal ini untuk keamanannya. Walaupun
kami tidak berhasil mencapai apa yang kami inginkan di Reykjavik,
pertemuan tingkat tinggi ini, seperti dikatakan mantan lawan juru
runding saya itu, merupakan "titik balik utama dalam pencarian suatu
dunia yang lebih aman dan lebih damai".

Tahun-tahun yang akan datang bakal menentukan apakah mimpi berbagi kami
untuk membebaskan dunia dari senjata nuklir bakal pernah terwujud. Para
pengecam menggambarkan pelucutan senjata sebagai sesuatu yang tidak
realistis dan mimpi utopia yang berisiko. Mereka mengemukakan
"perdamaian yang berlangsung lama"pada masa Perang Dingin sebagai bukti
bahwa kepemilikan senjata nuklir merupakan satu-satunya jalan mencegah
pecahnya perang.

Sebagai seorang yang pernah memegang komando atas senjata nuklir, saya
tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Nuclear deterrence
(kepemilikan senjata nuklir) merupakan penjamin perdamaian yang rapuh.
Karena tidak berhasil mengajukan rencana pelucutan senjata yang tegas,
Amerika, Rusia, dan negara-negara nuklir lainnya telah mendorong
terciptanya suatu masa depan ketika senjata nuklir pada akhirnya mungkin
bakal digunakan juga. Masa depan seperti inilah yang harus kita cegah.

Seperti yang saya serta George P. Shultz, William J. Perry, Henry A.
Kissinger, Sam Nunn, dan lain-lainnya kemukakan lima tahun yang lalu,
kepemilikan senjata nuklir semakin tidak bisa diandalkan dan semakin
berisiko, sementara jumlah negara yang memiliki senjata nuklir bertambah
banyak.

Kecuali dilancarkannya preemptive war, perang yang memberikan hak kepada
suatu pihak untuk menyerang lebih dulu (yang sudah terbukti
kontraproduktif) atau sanksi yang efektif (yang sampai saat ini terbukti
tidak cukup), maka hanya langkah-langkah yang jujur menuju pelucutan
senjata nuklir yang bisa memberi rasa aman bersama yang diperlukan bagi
tercapainya kompromi yang

kuat mengenai pengendalian dan pencegahan maraknya senjata nuklir.

Rasa saling percaya dan saling pengertian yang kami bangun di Reykjavik
membuka jalan bagi dua perjanjian yang bersejarah, yaitu Traktat Nuklir
Jarak Menengah (INF) pada 1987, yang memusnahkan misil cepat-pukul yang
saat itu mengancam perdamaian di Eropa; dan Traktat Pengurangan Senjata
Strategis yang pertama (START I) pada 1991, yang memangkas rimbunan
senjata nuklir Amerika dan Uni Soviet sebanyak 80 persen dalam waktu 10
tahun.

Tapi prospek tercapainya kemajuan untuk mengendalikan dan men M cegah
proliferasi senjata nuklir ber tambah suram dengan tidak adanya dorongan
yang kredibel ke arah pelucutan senjata nuklir. Selama dua hari lamanya
di Reykjavik itu, saya menyadari bahwa pembicaraan mengenai pelucutan
senjata bisa membawa hasil walaupun sulit dilakukan. Dengan
menghubungkan berbagai persoalan yang saling terkait, Reagan dan saya
berhasil membangun rasa saling percaya dan saling pengertian yang
diperlukan untuk meredakan lomba senjata nuklir yang tidak terkendali itu.

Dengan menengok ke belakang, kita melihat bahwa berakhirnya Perang
Dingin telah mem buka pintu pengaturan kekuatan dan persuasi di dunia
yang kacau-balau. Negaranegara yang memiliki senjata nuklir harus
mematuhi Traktat Nonproliferasi 1968 dan dengan kemauan baik memulai
lagi perundingan pelucutan senjata. Langkah ini bakal menambah modal
moral dan diplomatik bagi para diplomat, sementara mereka berusaha
mengekang proliferasi nuklir dalam dunia tempat saat ini lebih banyak
negara memiliki kemampuan untuk membuat bom nuklir ketimbang sebelumnya.

Hanya suatu program pelucutan senjata nuklir yang serius yang bisa
memberi rasa aman dan kredibilitas yang diperlukan untuk membangun
konsensus global yang menegaskan bahwa kepemilikan senjata nuklir itu
doktrin yang sudah mati. Kita tidak bisa lagi menerima, secara politik
maupun finansial, sistem yang berlaku sekarang yang membedakan negara
yang "sudah"dan yang "belum"memiliki senjata nuklir.

Reykjavik membuktikan bahwa keberanian itu membuahkan hasil. Kondisi
pada 1986 itu jauh dari ideal bagi tercapainya kesepakatan mengenai
pelucutan senjata.

Sebelum saya menjadi pemimpin Uni So viet pada 1983, hubungan di antara
negara-negara adikuasa pada masa Perang Dingin berada di titik terendah.
Namun Reagan dan saya mampu menciptakan semangat yang membangun melalui
uluran tangan terus-menerus dan interaksi secara langsung.

Yang tampaknya kurang sekarang adalah pemimpin yang memiliki keberanian
dan visi yang membangun rasa visi yang membangun rasa MPO) saling
percaya yang diper lukan untuk menempatkan kembali pelucutan senjata
pada titik sentral tertib global yang damai. Kenda la ekonomi dan
bencana Chernobyl membantu mendorong kita untuk bertindak. Mengapa Re
sesi Besar dan melt down pada Pembang kit Listrik Tenaga Nuklir
Fukushima Daiichi di Jepang ti dak membangkitkan respons yang serupa
sekarang ini?
Langkah pertama yang harus diambil adalah diratifikasinya oleh Amerika
Traktat La rangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir (CTBT). Presi den Barack
Obama telah me ngesahkan traktat ini sebagai instrumen penting untuk
meredakan proliferasi dan mencegah perang nuklir. Sudah waktunya bagi
Obama untuk memenuhi komitmen yang diberikannya di Praha pada 2009,
berbuat seperti Reagan sebagai great communicator (komunikator ulung)
dan membujuk Senat Amerika untuk dengan resmi menegaskan kepatuhan
Amerika kepada CTBT.

Langkah ini akan memaksa negara-negara yang masih bertahan--Cina, Mesir,
India, Indonesia, Iran, Israel, Korea Utara, dan Pakistan--untuk juga
mempertimbangkan kembali sikap mereka terhadap CTBT. Dan dengan ini
membawa kita lebih dekat pada larangan global uji coba nuklir di mana
pun dan dalam lingkungan apa pun--di atmosfer, di bawah laut, di ruang
angkasa, atau di bawah tanah.

Langkah kedua yang perlu diambil ada lah ditindaklanjutinya kesepakatan
baru START serta dimulainya lagi pengurangan senjata yang lebih mendalam
oleh Amerika dan Rusia, terutama senjata taktis cadangan, yang tidak ada
manfaatnya dan cuma memboroskan uang serta mengancam keamanan. Langkah
ini mesti dikaitkan dengan dibatasinya sistem pertahanan misil, salah
satu isu utama yang telah merusak hasil Reykjavik.

Kesepakatan mengenai traktat pengurangan bahan materi fosil (FMCT), yang
telah lama mengalami kemacetan dalam perundingan multilateral di Jenewa,
dan berhasilnya Konferensi Tingkat Tinggi Keamanan Nuklir di Seoul tahun
depan akan membantu mengamankan bahan nuklir yang berbahaya ini. Semua
ini mensyaratkan diperbarui dan diperluasnya Global Partnership tahun
2002, yang bertujuan mengamankan dan menghapus semua senjata pemusnah
massal—nuklir, kimia, dan biologi—ketika nanti Kemitraan Global ini
bersidang tahun depan di Amerika.

Dunia yang kita huni ini masih terlalu dimiliterisasi. Dalam iklim
ekonomi seperti sekarang, senjata nuklir telah menjadi sumber pemborosan
yang memuakkan. Jika krisis ekonomi sekarang ini terus berlanjut,
Amerika, Rusia, dan negara-negara nuklir lainnya harus merebut momentum
ini untuk melancarkan pengurangan senjata secara multilateral melalui
saluran-saluran baru atau yang ada sekarang, seperti Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pelucutan Senjata. Langkah semacam
ini akan memberi rasa aman yang lebih besar dengan ongkos yang lebih kecil.

Tapi pembangunan kekuatan militer konvensional—yang didorong sebagian
besar oleh ditempatkannya kekuatan militer Amerika yang besar di banyak
negara—harus ditangani juga. Presiden Amerika John F. Kennedy pernah
memperingatkan bahwa "setiap pria, wanita, dan anak hidup di bawah
bayangan pedang nuklir Democles, yang menggantung di tali yang sangat
tipis, yang bisa dipotong setiap saat". Selama lebih dari 50 tahun, umat
manusia dengan khawatir memandang goyangan bandul yang mematikan itu,
sementara negarawan-negarawan berdebat mengenai bagaimana memperkokoh
kembali tali yang menipis itu.

Contoh yang diberikan Reykjavik harus mengingatkan kita bahwa
langkah-langkah yang sifatnya meredakan saja itu tidak cukup. Upaya yang
kami lakukan 25 tahun yang lalu dapat dibuktikan kebenarannya, hanya
apabila bom itu bisa didudukkan di museum sejarah keganasan manusia.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/10/17/ArticleHtmls/Menuju-Pelucutan-Senjata-Nuklir-17102011011007.shtml?Mode=1


--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

No comments: